Oleh: Anggi Sinaga
(Pemred : Derap1News.Com)
Hukum semestinya bekerja dalam kerangka ketertiban, kepastian, dan keadilan. Namun apa yang terjadi di Pengadilan Negeri Rokan Hilir belakangan ini justru memperlihatkan wajah lain dari proses hukum yang seharusnya rapi dan berwibawa. Sidang yang molor hingga malam hari bukan lagi kejutan. Ia telah menjadi kebiasaan.
Dalam sebuah momen persidangan pekan ini, saya berbincang dengan beberapa orang saksi dari berbagai wilayah di Rokan Hilir dan luar Rokan Hilir . Wajahnya kelihatan. letih, tubuhnya sesekali menoleh ke arah pintu ruang sidang yang belum juga memanggil namanya. Ia datang pagi, namun keterangan yang ia siapkan belum juga disampaikan hingga matahari turun dan jam dinding mendekati pukul 9 malam.
“Saya kira dipanggil pagi ya di sidang pagi. Tapi ternyata nunggu sampai malam,” keluhnya lirih.
Ini bukan satu dua kali terjadi. Bagi yang rutin meliput kegiatan di PN Rohil, kondisi ini sudah dianggap “normal yang dipaksakan.” Dalam sehari, sidang bisa menembus angka 50 perkara. Dan, yang lebih mencengangkan, hanya satu majelis hakim yang menangani semua perkara tersebut.
Ketika saya mencoba meminta klarifikasi, Juru Bicara PN Rohil, Aldar Valeri, S.H., dengan terbuka menjelaskan bahwa sidang saat ini dilakukan secara hybrid. Terdakwa yang hadir langsung didahulukan, lalu dilanjutkan dengan yang mengikuti sidang secara daring. Terdengar masuk akal, tapi bukan berarti wajar.
“Saat ini hakim yang aktif hanya empat orang, dan satu hari hanya bisa dibentuk satu majelis hakim,” ujar Aldar. Maka, bisa dibayangkan bagaimana beban kerja itu dipikul—tidak hanya oleh hakim, tapi juga oleh jaksa, panitera, saksi, hingga para pencari keadilan lainnya.
Namun jika keadilan menjadi semacam maraton, di mana kelelahan justru menjadi bagian dari sistem, maka ada hal yang salah dan perlu dibenahi.
Persoalan tidak berhenti di jumlah hakim yang minim. Masih ada kendala teknis: perangkat sidang yang bermasalah, jaringan internet yang tidak stabil, dan pihak perkara yang datang terlambat. Semua ini membentuk semacam lingkaran stagnasi, yang bisa mengancam kualitas putusan dan merusak wajah keadilan itu sendiri.
Ironisnya, dalam semangat keterbukaan informasi publik, komunikasi antara pengadilan dan jurnalis pun belum sepenuhnya sehat. Ada jarak, ada miskomunikasi, bahkan kadang ada kebisuan yang terasa disengaja. Padahal, jurnalis dan lembaga peradilan seharusnya berada dalam satu garis: sama-sama menjadi mata dan telinga publik dalam mengawasi jalannya keadilan.
Apa yang terjadi di PN Rohil ini seharusnya menjadi alarm, bukan hanya bagi Mahkamah Agung, tapi juga bagi pemangku kebijakan di daerah. Rokan Hilir bukan satu-satunya daerah dengan keterbatasan SDM hukum. Tapi jika ini terus dibiarkan, maka siapa yang bisa menjamin bahwa keadilan yang diputuskan tengah malam adalah keadilan yang terang?
Ruang sidang seharusnya bukan tempat berjudi dengan nasib karena kelelahan, bukan tempat untuk terburu-buru mengetuk palu karena antrian kasus masih panjang. Keadilan yang lambat dan lelah adalah ketidakadilan yang tertunda.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah keadilan masih bisa ditegakkan ketika para pelaksana hukumnya kelelahan, dan para pencari keadilan kehabisan tenaga bahkan sebelum diperiksa?
Sudah saatnya sistem peradilan di daerah diperkuat, bukan sekadar diberi beban kerja. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya vonis, tapi kepercayaan rakyat pada hukum itu sendiri.**
Penulis : Anggi Sinaga, adalah Pimred Derap1news.com
Komentar