Perlu nilai moral yang mengatur sikap dan tindakan kita di ruang digital. Inilah pondasi yang membentuk ruang siber lebih manusiawi. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Etika digital bukan hanya persoalan benar atau salah secara teknis, tetapi menyangkut nilai moral yang mengatur perilaku individu dan organisasi di tengah kehidupan yang semakin terdigitalisasi.
Upaya membangun ruang digital Indonesia yang lebih sehat, aman, dan beradab kembali ditegaskan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) melalui penyelenggaraan Workshop Pengelolaan Akses dan Aset Konten Informasi Publik dalam rangkaian program SOHIB Berkelas Surabaya.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber kunci yakni Ketua Tim Pengelola Media Sosial Ditjen Komunikasi Publik dan Media (KPM) Kemkomdigi, Andrean Weby Finaka yang mewakili Direktur Informasi Publik sekaligus membuka acara Sohib Berkelas, Eksekutif Produser Narasi TV, Mufti A. Sholih, Head of Production Indonesia.go.id, Singgih Aji Abiyuga,
Ketiganya membahas secara mendalam soal urgensi etika digital, pengelolaan konten informasi publik, serta mekanisme verifikasi yang harus menjadi standar dalam produksi dan konsumsi informasi masyarakat di ruang siber.
Dalam paparannya, Mufti A. Sholih menegaskan bahwa etika digital bukan hanya persoalan benar atau salah secara teknis, tetapi menyangkut nilai moral yang mengatur perilaku individu dan organisasi di tengah kehidupan yang semakin terdigitalisasi.
“Etika adalah prinsip nilai moral yang mengatur sikap dan tindakan kita di ruang digital. Inilah pondasi yang membentuk ruang siber lebih manusiawi,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana kekerasan verbal, penghinaan, atau perundungan yang tampak “sepele” dapat membawa dampak serius. Kasus “bullying bau ketek” yang pernah viral, kata Mufti, bukan sekadar guyonan, tetapi mengandung kekerasan simbolik dan seksual yang sering tidak disadari publik.
Mufti menegaskan, masyarakat membutuhkan etika digital karena dua alasan fundamental: Menghargai sesama dan mencegah kekerasan verbal serta pelecehan online, Mengambil tanggung jawab bersama dalam mencegah misinformasi dan disinformasi.
Dalam sesi lainnya, Mufti menjelaskan teknik praktis verifikasi dan validasi konten bagi masyarakat yang makin sering menerima banjir informasi.
“Cara paling mudah adalah cek kredibilitas medianya, lihat rekam jejak unggahan, dan nilai apakah klaim sesuai dengan gambar atau video yang menyertai,” ungkapnya.
Ia juga membagikan metode verifikasi lanjutan, seperti penggunaan TinEye, Google Image, Yandex, hingga pemeriksaan metadata manual. Praktik ini, tegas Mufti, adalah langkah konkret untuk memastikan kebenaran sebelum membagikan informasi.
Perbedaan antara verifikasi dan falsifikasi pun dibahas secara hidup melalui dialog bersama peserta:bVerifikasi: Mencari kebenaran dari sebuah klaim.nFalsifikasi: Mencari kesalahan atau ketidaksesuaian dari sebuah klaim.
“Dalam penelitian, falsifikasi justru penting. Kita menguji apakah sebuah kesimpulan dapat dipatahkan. Tapi dalam konsumsi informasi publik, verifikasi harus menjadi prioritas sebelum kita percaya atau membagikan sesuatu,” katanya.
Ketua Tim Pengelola Media Sosial Ditjen Komunikasi Publik dan Media (KPM) Kemkomdigi, Andrean Weby Finaka, menegaskan komitmen pemerintah untuk memastikan konten informasi publik dikelola dengan standar kualitas tinggi.
Menurutnya, setiap pengelola kanal resmi pemerintah harus: menjaga integritas data, memastikan akurasi pesan, menyajikan konten yang mudah dipahami, serta konsisten berbasis bukti (evidence-based).
“Platform pemerintah harus menjadi jangkar kepercayaan publik. Kredibilitas itu dibangun lewat etika, ketelitian, dan tanggung jawab,” ujar Andre.
Sementara itu, Singgih Aji Abiyuga, Head of Production Indonesia.go.id, menekankan pentingnya narasi yang relevan dan membumi dalam setiap konten informasi publik.
Ia menegaskan bahwa konten pemerintah bukan sekadar menyampaikan data, tetapi harus mampu menjadi referensi yang humanis dan mudah dipahami masyarakat.
“Informasi publik harus dapat diakses, dipercaya, dan dirasakan manfaatnya. Narasi yang baik akan membuat masyarakat merasa dekat, bukan sekadar membaca informasi formal,” jelas Singgih.
Para narasumber kompak menekankan bahwa etika digital adalah pilar pertama yang menopang digital safety, digital culture, dan digital responsibility. Tanpa fondasi etika digital yang kuat, ruang siber akan rentan dipenuhi kekerasan, polarisasi, misinformasi, dan konten manipulatif.
Workshop ini juga mengajak peserta mayoritas mahasiswa, kreator muda, dan pengelola media kampus – untuk terlibat aktif dalam menjaga kualitas ekosistem digital.
Kegiatan Sohib Berkelas Surabaya menjadi bagian dari ikhtiar berkelanjutan Kemkomdigi dalam memperluas literasi digital, memastikan pengelolaan konten publik yang akuntabel, serta mendorong budaya digital yang lebih santun dan bertanggung jawab.
Melalui kolaborasi pemerintah, media, dan masyarakat, diharapkan nilai moral dan etika dapat benar-benar membumi dan menjadi karakter utama digital citizenship di Indonesia.
sumber Indonesia.go.id







