Lahan Sudah Diserahkan Uang Tak Jelas, Teriak Warga Flotim : ” Dikhianati Proyek Rp10,3 Miliar “

FLORES TIMUR, Infozone | Dua warga Desa Mudakeputu, Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur, merasa ditelanjangi oleh pemerintahnya sendiri. Petrus Nogoama Koten dan Agustinus Nurat Kelen menyerahkan lahan seluas 7.500 meter persegi demi pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih—proyek strategis nasional senilai Rp10,3 miliar. Tapi hingga pertengahan Desember 2025, satu rupiah pun belum mereka terima.

Yang lebih menyakitkan, luas lahan yang semula disepakati dalam dokumen resmi tiba-tiba “dipangkas” oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Flores Timur menjadi hanya 5.289 meter persegi. Artinya, nilai kompensasi yang semestinya Rp1,125 miliar, kini hanya dihargai Rp793 juta. Selisih Rp331 juta lebih, raib tanpa kejelasan.

Bacaan Lainnya

“Ini bukan soal uang semata. Ini soal harga diri. Kami sudah serahkan tanah, tapi diperlakukan seperti pengemis,” tegas Petrus, Senin (15/12/2025).

Janji Wakil Bupati: Omong Kosong?

Wakil Bupati Flores Timur, Ignasius Boli Uran, pernah berjanji bahwa pembayaran akan dilakukan pada November 2025. Tapi hingga kini, janji itu tinggal suara kosong. Tak ada realisasi. Tak ada kejelasan. Yang ada hanya rapat demi rapat, pertemuan demi pertemuan, yang berujung pada satu kata: nihil.

“Kami sudah duduk bersama Dinas, bahkan sudah bicara dengan pihak Kejaksaan NTT beberapa waktu lalu. Tapi hasilnya? Nol besar. Hanya janji-janji manis,” kata , geram.

Klaim Pemda: Selesai, Tapi Uang Tak Ada

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Mohammad Ikram, malah menyebut persoalan sudah selesai.

“Kami baru dari Mudakeputu, ketemu dengan kades dan pemilik lahan, sudah oke,” ujarnya singkat.

Pernyataan itu langsung dibantah keras oleh Petrus dan Agustinus.

“Kalau sudah selesai, mana buktinya? Mana uangnya? Jangan main-main dengan hak rakyat!” seru Petrus.

Proyek Nasional, Tapi Rakyat Dikorbankan

Kampung Nelayan Merah Putih adalah proyek strategis nasional yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat pesisir. Tapi bagaimana bisa bicara kesejahteraan jika hak dasar warga justru diinjak-injak?

Proyek ini sudah berjalan, progresnya 28 persen per awal November. Tapi dua warga yang menyerahkan tanahnya justru dibiarkan menggantung. Ini bukan hanya soal administrasi. Ini soal keadilan. Soal integritas pemerintah.

“Jangan jadikan kami tumbal pembangunan. Kami bukan batu pijakan. Kami manusia yang punya hak,” tegas Agustinus.

Pemerintah Harus Bertanggung Jawab

Petrus dan Agustinus menuntut agar pembayaran dilakukan sesuai dokumen resmi: 7.500 meter persegi. Bukan versi sepihak yang tiba-tiba muncul dari denah teknis.

“Kami tidak anti pembangunan. Tapi jangan jadikan kami korban. Kami sudah berkorban, jangan kami pula yang dikorbankan,” kata Petrus.

Jika pemerintah daerah tidak segera menyelesaikan persoalan ini, bukan hanya proyek yang terancam mandek. Kepercayaan publik pun bisa runtuh. Dan ketika rakyat sudah tak percaya, maka tak ada lagi legitimasi yang bisa dibanggakan.

Catatan Kritis: Jangan Main Api dengan Hak Rakyat

Kasus ini adalah alarm keras bagi semua pihak. Pemerintah tidak boleh bermain-main dengan hak rakyat. Jangan bungkam suara warga dengan janji kosong. Jangan bungkus ketidakadilan dengan dalih prosedur.

Jika proyek ini benar-benar untuk rakyat, maka hormati rakyat. Bayar hak mereka. Tuntaskan kewajiban. Jangan biarkan dua warga kecil harus melawan sistem yang semestinya melindungi mereka.

Karena jika negara hadir untuk membangun, maka keadilan harus jadi fondasi pertama yang ditegakkan. Bukan hanya beton dan semen, tapi juga kepercayaan dan kejujuran.***

 

Rita Senak SE Infozone melaporkan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *